Selasa, 07 Desember 2010

esai revitalisasi proses pengkaderan IPM sebagai pendidikan awal calon kader

 

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengejarkan amal saleh dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim’. (QS Fushilat: 33)
Menyimak ayat Al Quran di atas tentunya kita berpikir, bagaimana caranya untuk termasuk orang yang lebih baik karena ikut menyeru kepada Allah dan mengejarkan amal saleh? Apalagi kondisi Indonesia pada umumnya dan pelajar pada khususnya sedang menghadapi modernisasi yang mengglobal, budaya-budaya pop yang makin merajalela dikalangan pelajar, dan ini adalah faktor penghambat itu. Padahal menjadi rahasia umum bahwa pelajar Indonesia kurang dalam penguasaan pengetahuan. Hal ini dapat mengakibatkan suatu kemiskinan budaya sehingga dalam prakteknya di masyarakat pelajar tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi melemahnya sikap kritis dan peduli di kalangan pelajar yang kian akut.
Malah, banyak pelajar yang tidak mempunyai prinsip, terombang-ambing dalam pergaulan modernitas, seolah menjadi jawaban atas ketidakmampuan mereka dalam menempatkan diri pada aspek kehidupan pelajar yang akademis. Pergaulan bebas, free sex, penggunaan napza, dan kriminalitas yang didukung oleh kecanggihan teknologi dan komunikasi menambah gencarnya kebobrokan pelajar.
lkatan Pelajar Muhammadiyah di Kota Yogyakarta terdiri dari Pimpinan Daerah IPM Kota Yogyakarta, dua Pimpinan Cabang di tingkat kecamatan, 11 ranting SMP sederajat, 14 ranting SMA sederajat, dan satu ranting di kampung Nitikan. Hal ini menunjukkan bahwa IPM merupakan salah satu tulang punggung pemerintah kota dalam tataran yang lebih luas dan merupakan corong Muhammadiyah di kalangan pelajar. Posisi IPM akan sangat strategis dan penting untuk menyeru kepada Allah, mengejarkan amal saleh, melakukan penyadaran sosial-kemasyarakatan sejak dini kepada salah satu elemen masyarakat yang bernama pelajar. Mengingat kondisi mereka yang belum terlalu keruh “terkotori” dan kurang dari kepentingan-kepentingan politik, sehingga sangat efektif untuk dapat menggerakkan dan menyerukan kepentingan moral.
Untuk menjawab tantangan tadi butuh revitalisasi proses pengkaderan di tubuh IPM. Revitalisasi berarti proses mementingkan kembali, dalam konteks ini berarti objeknya adalah kaderisasi. Adapun maksud dari kaderisasi itu sendiri adalah proses penyiapan kader-kader untuk terlibat dalam aktivitas kemanusiaan dan kemasyarakatan yang lebih luas dari lingkup IPM (PP IPM, 2008: 25). Fungsi Pengkaderan itu sendiri dapat diurai dalam jabaran sebagai berikut.
1. Fungsi Kader Persyarikatan
IPM merupakan organisasi kader bagi Muhammadiyah maka IPM berfungsi sebagai lembaga kaderisasi yang out-putnya adalah kader-kader persyarikatan baik sebagai pimpinan maupun pemegang amal usaha di masa yang akan datang. Untuk itu dalam melakukan fungsi tersebut yang perlu diperhatikan dalam proses kaderisasinya adalah:
a. Corak Pengkaderan IPM adalah “Paradigma Kritis”, yaitu kaderisasi yang menekankan pada aspek penanaman ideologi yang berbasis pada ilmu.
b. Pengembangan paradigma kritis tersebut bermuara kepada lahirnya trilogy pembaharuan IPM (jihad, ijtihad, dan mujahadah) yaitu etos kerja, etos intelektual, dan etos spiritual.
2. Fungsi kader umat dan bangsa
Komitmen IPM terhadap proses transformasi masyarakat, bangsa, dan negara terwujud dalam sumbangsih IPM berupa kader-kader yang siap melakukan artikulasi konstruktif dalam rangka pembaharuan dan pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara. Untuk itu dirumuskanlah kaderisasi dengan bentuk berikut.
a. Corak rekruitmen kader harus bersifat terbuka (inklusif) terhadap berbagai latar belakang dan potensi pelajar.
b. Dikembangkan pengkaderan-pengkaderan alternatif untuk mengakomodasi pluralitas kader dan mengalokasikan kader tersebut pada posisi-posisi yang meluas.
Dalam Tanfidz Muktamar XVI IRM (2008:32), IPM yang mengaku juga sebagai gerakan kader maka kaderisasi juga merupakan tugas utama IPM dan juga sebagai media internalisasi nilai-nilai gerakan pada setiap kader. Tanpa adanya kaderisasi, maka menjadi faktor utama lemahnya gerakan. Dalam kaderisasi yang ideal inilah nilai-nilai islam kritis-transformatif dapat terus ditanamkan. Untuk merealisasikannya dengan berbagai strategi, diantaranya:
a. disiplin menerapkan pengkaderan dalam setiap tingkatan
b. memperbanyak aktivitas-aktivitas pengkaderan, baik bersifat formal maupun informal
c. melakukan pendampingan intensif terhadap kader
d. memberikan wadah aktualisasi potensi bagi para kader sesuai dengan bakat dan minat.
Kaderisasi formal IPM melalui Pelatihan Kader Taruna Melati, untuk tingkatan Ranting (sekolah/kampong) dinamai Taruna Melati 1 (TM 1), dan untuk daerah (tingkat kota/kabupaten) Taruna Melati 2 (TM 2). Untuk lebih efektif dalam mewujudkan kader pelopor-ideologis yang memiliki komitmen dan loyalitas tinggi terhadap ikatan, berwawasan luas, berlandaskan Aqidah dan As-Sunnah, serta mampu menjadi inti penggerak organisasi dan pelangsung estafeta kepemimpinan, diadakanlah tindak lanjut pasca Taruna Melati berupa Sekolah Kader. Yaitu suatu proses yang disusun secara terpadu meliputi penyadaran, dan pembelaan terhadap kader IPM (PP IPM, 2008: 40).
Metode pengolahannya menggunakan metode pembelajaran paedagogi dan andragogi. Mekanisme pembelajarannya berupa ceramah, curah pendapat, dan diskusi terarah, mentoring, dan case study tentang suatu tema. Misalnya pengenalan diri: studi kritis konsepsi tentang manusia, Tuhan, dan semesta; hakikat agama dan hakikat islam; islam transformatif; ideologi gerakan Muhammadiyah; dan lain-lain (PP IPM, 2008:43-44).
PP IPM (2008: 115) telah memberikan rambu-rambu untuk mengukur keberhasilan sebuah organisasi dalam Pengkaderan bisa ditilik dari indikator: ada Taruna Melati atau kegiatan kaderisasi pendukung lainnya yang sesuai dengan Sistem Pengkaderan IPM, ada kegiatan follow up kaderisasi, pendampingan berkelanjutan, dan munculnya komunitas-komunitas hasil Pengkaderan sebagai basis gerakan.
Proses kaderisasi tentu tidak lepas dengan dunia pendidikan, bahkan bisa dikatakan sebagai uang logam yang bermukan dua: kaderisasi-pendidikan. Walau IPM bukanlah lembaga pendidikan, namun proses pendidikan, terutama pembentukan kapasitas kader melalui Pelatihan Kader Taruna Melati mendapat porsi besar dalam gerakannya. Menurut Ki Hadjar Dewantara via Siswoyo dkk (2007: 20), yang dinamakan pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan yaitu, menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Siswoyo dkk (2008: 20-21) dalam bukunya yang berjudul Ilmu Pendidikan menerangkan bahwa unsur-unsur yang secara esensial yang tercakup dalam pengertian pendidikan adalah sebagai berikut.
1. Dalam pendidikan terkandung pembinaan (pembinaan kepribadian), pengembangan (pengembangan kemampuan-kemampuan atau potensi-potensi yang perlu dikembangkan), peningkatan (misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan tidak tahu tentang dirinya menjadi tahu tentang dirinya), serta tujuan (ke arah mana peserta didik akan diharapkan dapat mengaktualisasikan dirinya seoptimal mungkin).
2. Dalam pendidikan, secara inplisit terjalin hubungan antara dua pihak, yakni pihak pendidik dan pihak peserta didik yang di dalam hal dayanya yaitu saling mempengaruhi, guna terlaksananya proses pendidikan (transformasi pengetahuan, nilai-nilai dan ketrampilan-ketrampilan) yang tertuju kepada tujuan-tujuan yang diinginkan.
3. Pendidikan adalah proses sepanjang hayat dan perwujudan pembentukan din secara utuh dalam arti pengembangan segenap potensi dalam rangka pemenuhan semua komitmen manusia sebagai individu, sebagai makhluk sosial, dan sebagai makhluk Tuhan.
4. Aktivitas pendidikan dapat berlangsung dalam keluarga, dalam sekolah, dan dalam masyarakat.
Berdasar hal di atas perlu disadari bahwa pendidikan memainkan peran penting di dalam drama kehidupan dan kemajuan umat manusia. Pendidikan merupakan suatu kekuatan dinamis dalam kehidupan setiap individu, yang mempengaruhi perkembangan fisiknya, daya jiwanya (akal, rasa, dan kehendak), sosialnya, dan moralitasnya (Siswoyo dkk, 2007: 18). Dengan kata lain pendidikan merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam mempengaruhi kemampuan, kepribadian, dan kehidupan individu dalam pertemuan dan pergaulannya dengan sesama dan dunia, serta hubungannya dengan Tuhan.
Ikatan Pelajar Muhammadiyah di Kota Yogyakarta sebagai gerakan sosial non politik, diharapkan mampu menjadi alternatif sekaligus nilai tambah di sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tentunya memiliki intrakurikuler yang berbicara banyak hal tentang pendidikan. Namun, keberadaan IPM haruslah diposisikan secara proporsional sebagai satu-satunya organisasi intra sekolah di Sekolah Menengah Muhammadiyah. Dengan begitu peran IPM akan lebih terbuka lebar, pelajar menjadi lebih dewasa karena pemberdayaan yang tidak didapatkan selain dari IPM sebagai ekstrakurikuler dalam kegiatan belajara mengajar. Seandainya posisi IPM di suatu Sekolah Menengah Muhammadiyah dikerdilkan atau bahkan ditiadakan, pelajar akan menderita kerugian secara intelektual dan kehilangan fisrt experience untuk menjadi pemimpin (konteks pelajar). Jika ketimpangan ini berlanjut, alumni dari Sekolah Menengah Muhammadiyah terdegradasi kemampuan kepemimpinannya, sehingga tersingkir dalam percaturan dunia kerja atau aktivitas sosial lainnya, misalnya Organisasi Kemahasiswaan di kampus dan atau Karang Taruna di tempat tinggal masing-masing.
Idealisme gerakan ini pertama kali dikokohkan dengan penekanan yang bisa dikatakan sebagai indoktrinasi pada saat Taruna Melati. Para peserta, atau peserta didik yang hadir pelatihan dengan berbagai latar belakang tentunya berharap kopetensi-kompetensi kader IPM tercapai. Peserta didik itu sendiri adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pendidikan (Siswoyo dkk, 2007: 92). Sebagai peserta didik Taruna Melati sangat tergantung dan membutuhkan bantuang orang lain yang memiliki kewibawaan dan kedewasaan. Mereka tentunya masih dalam kondisi lemah, kurang berdaya, belum bisa mandiri, dan serba kekurangan dibanding orang dewasa; namun dalam dirinya terdapat potensi bakat-bakat dan disposisi luar biasa yang memungkinkan tumbuh dan berkembang ketika dan setelah mengikuti taruna Melati.
Masih menurut Siswoyo dkk (2007, 93-94), menerangkan bahwa peserta didik adalah persona yang memiliki multidimensional. Aneka dimensi bisa menjelma pada diri peserta didik dalam interaksinya dengan lingkungan alam natural dan lingkungan sosiokultural. Dimensi individualitas pada diri peserta didik mewujud dalam kemandirian, ketekunan, kerja keras, keberanian, kepercayaan diri, kelakuan, semangat dan ambisi. Dimensi sosialitas pada diri peserta didik tampak pada sikap kedermawanan, saling menolong, toleransi, kerjasama, suka berbagi dengan sesama, berorganisasi, dan hidup secara bermasyarakat. Dimensi religiusitas pada diri peserta didik kelihatan dalam perilaku ketaatan menjalankan ajaran agama, beribadah, keyekinan adanya Tuhan, ketekunan, keikhlasan, kesediaan berdakwah, dan kepasrahan atau tawakal. Dimensi historisitas tampak pada diri peserta didik dalam kesenangan menyelidiki kisah-kisah kuno, kegemaran mencatat aneka kejadian sejarah, kesadaran akan pentingnya sejarah, dan kemapuan mengkreasi sejarah. Dimensi moralitas pada diri peserta didik kelihatan pada pengetahuannya tentang nilai-nilai meralitas yang universal dan local, pengetahuan tentang akibat-akibat yang ditimbulkan dari perilaku moral, kemampuan membedakan antara perilaku moral baik dan buruk, kemampuan menjaga perilaku ketaatan moral, dan lain-lain.
Taruna Melati bisa diartikan sebagai kawah candradimuka: peserta didik datang, membawa segenap potensi yang belum diasah, pulang dengan secercah harapan yang menunjukkan beberapa potensi yang lebih terlihat. Tindak lanjut yang dinamai sekolah kader itulah pengenalan lebih dalam terhadap materi-materi yang lebih detail dan penambahan lebih komprehensif tentang segala pengetahuan yang dibutuhkan sebagai seorang pelopor, pelangsung, dan penyempurna amanah. Bakat-bakat terpendam para peserta didik kemudian bisa dikembangkan melalui hubungan relasional dalam IPM, entah itu kelebihan intelektual, spirirtual, kepemimpinan, estetik, kinestetik, ataupun psikomotorik. Hal ini bisa terwujud karena IPM memilik bidang Kajian dan Dakwah Islam (KDI) untuk menampung pelajar yang memiliki potensi yang lebih dalam ranah spiritual, bidang Perkaderan untuk pengembangan kepemimpinan dan pengembangan sumber daya manusia, bidang Pengkajian Ilmu Pengetahuan (PIP) untuk mengembangkan intelektualitas kader, bidang Apresiasi Seni, Budaya, dan Olahraga yang tepat bagi para calon seniman dan olahragawan, bidang Kewirausahaan untuk melatih kemandirian dan kreativitas pelajar dalam bidang ketahanan ekonomi, dan bidang-bidang yang lain tergantung kebutuhan local atau membuka peluang penambahan atas dasar kearifan lokal.
Peserta Taruna Melati dalam proses pelatihan dan tindak lanjut selalu diharapkan menjadi peserta yang terus belajar. Menurut Reber dalam Sugihartono (2007: 74) mendefinisikan belajar dalam dua pengertian. Pertama, belajar sebagai proses memperoleh pengetahuan, dan kedua, belajar sebagai perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat. Sedangkan Sugihartono (2007: 74) sendiri menyatakan, belajar merupakan suatu proses memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan tingkah laku dan kemampuan bereaksi yang relatif permanent atau menetap karena adanya interaksi individu dengan lingkungannya.
Dalam proses Taruna Melati dan Sekolah Kader diharapkan peserta memiliki perilaku belajar berupa perubahan tingkah laku yang terjadi secara sadar, perubahan itu terus menerus dan benar-benar dilaksanakan, perubahan itu bersifat positif dan aktif, perubahan bersifat permanen, perubahan dengan belajar bertujuan atau terarah, dan perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku.
Dengan proses Sekolah Kader diharapkan pembelajaran menjadi faktor yang sangat penting dalam perkembangan tingkah laku peserta. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran itu sendiri. Dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Untuk menuju hasil belajar yang baik dibutuhkan pembentukan kebiasan pembelajar atau pribadi peserta yang aktif, jadi bukan menunggu apa-apa yang diberikan fasilitator atau pendamping, namun menjadikan dirinya sebagai subjek pelatihan yang hendaknya mencari banyak cara untuk mencapai hasil belajar yang maksimal. Selain itu perlu pembentukan rangsangan dari lingkungan yang kondusif untuk mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran menjadi pembelajar yang benar-benar kompetitif untuk mencapai hasil yang maksimal.
Proses pembelajaran diawali dengan niat atau motivasi. Bentuknya berupa dorongan besar yang mengawali peran peserta sebelum proses pembelajaran berlangsung. Cara agar motivasi peserta berkembang dilakukan dengan komunikasi personal ataupun dalam forum diskusi kecil tanpa paksaan tentang apa yang mereka inginkan dari proses perkaderan ini. Seluruh keinginan itu kemudian diarahkan untuk merujuk hasil bahwa kesemua perjalanan pembelajaran adalah untuk mereka sendiri. Seberapa besar mereka mendapat maslahat tergantung seberapa besar intensitas mereka bisa mengalokasikan minat kepada pembelajaran. Lalu, peserta diarahkan kepada pola belajar yang sesuai dengan potensi yang mereka miliki. Apakah mereka unggul auditorialnya, visualnya, atau kinestetisnya. Serta terus dilakukan pembimbingan oleh fasilitator dengan perbandingan maksimal 1:10 untuk menjaga kualitas monitoring sehingga bakat dan minat peserta yang kadang belum muncul nanti bisa dikuak bersama dalam forum itu.
Pembelajaran selanjutnya bagaimana untuk meningkatkan tingkat pemahaman peserta Taruna Melati dan Sekolah Kader. Tentunya, materi yang merujuk kepada kompetensi-kompetensi apa yang harus dikuasai dibutuhkan pemahaman yang mendalam dan komprehensif. Mendalam maksudnya peserta dituntun untuk menguasai materi sampai ke cabang-cabang atau detailnya secara jelas dan tepat. Sedangkan komprehensif mengedepankan prinsip pembelajaran yang multi aspek atau tidak parsial supaya pemahaman peserta lengkap tanpa sudut pandang sempit yang kadang menimbulkan pendapat, pola pikir, dan perilaku yang malah menyimpang. Usaha untuk meningkatkan kedalaman dan kemenyeluruhan pemahaman ini dilakukan dengan menyarankan peserta membaca referensi sebelum diskusi, pemberian materi, atau studi kasus dilakukan, aktivasi pemahaman awal tersebut dengan questioning, dan penugasan dalam bentuk penyusunan karya tulis, makalah atau paper misalnya.
Pemahaman tersebut butuh usaha selanjutnya untuk menjaga agar kuat menunjam dalam memori peserta karena materi pada saat Taruna Melati dan Sekolah Kader ini merupakan landasan awal yang akan mencakup segala aktivitas organisasi kelak sekaligus menjadi ruh atau spirit perjuangan. Penguasaan materi juga diharapkan dapat disegarkan dengan mengulang materi secara sekilas atau dengan diskusi, serta bisa juga dengan penugasan menyampaikan materi tersebut kepada audiens lain di Ranting-ranting IPM yang mencapai 26 ranting.
Selain itu, perlu diingat, materi juga memiliki aspek aksiologis atau memiliki daya manfaat ketika dapat diterapkan dalam kenyataan. Teori-teori tersebut ada untuk dilaksanakan tak sekedar menjadi ingatan dan keyakinan. Dalam pelaksanaan inilah dibutuhkan pembimbingan yang lebih intensif sehingga keberadaan peserta benar-benar dihargai bukan hanya sekedar peserta yang sepenuhnya berinisiatif, namun memberdayakan juga peran fasilitator sebagai pembimbing secara lebih maksimal untuk mencapai kompetensi-kompetensi.
Sebagai penekanan pada taraf pembelajaran, perlunya kita belajar dari hewan di sirkus yang dengan hebat memainkan perintah pawangnya tanpa begitu banyak protes, mengapa? Jawabannya tentunya peserta tidak dituntut untuk menjadi hewan sirkus yang siap melaksanakan perintah fasilitator tanpa banyak diskusi dan sosialisasi logisitas aksi. Namun, yang perlu dicermati adalah bentuk pembiasaan yang kuat akan membentuk pribadi yang kuat pula. Kalau menurut pepatah, “Orang hidup itu dibentuk oleh kebiasaan”.
Oleh karena itu, peserta Taruna Melati dan Sekolah Kader harus terus dibiasakan untuk mengaplikasikan pemahaman mereka hingga pada taraf pandangan hidup. Ideologi, kalau diterjemahkan bebas menjadi ilmu pendapat, benar-benar kokoh melekat di dalam hati sehingga menimbulkan kerelaan untuk melaksanakan berbagai aktivitas bahkan yang berat sekalipun tanpa kompensasi apapun. Hal ini sering disebut dengan militansi, kerelaan seseorang untuk berkorban tanpa pamrih materi.
Dalam proses pembelajaran dan pembiasaan dituntunkan untuk melakukan kegiatan evaluasi secara rutin terhadap segala elemen pelatihan peserta. Evaluasi itu bisa mencakup tentang kondisi peserta, kurikulum yang disampaikan, kualitas pemateri dan fasilitator dan cara pembawaannya, dll. Evaluasi ini diharapkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sehingga luaran yang diharapkan berupa kader-kader yang siap untuk diberdayakan dapat tercapai. Evaluasi ini lebih baik lagi jika melibatkan orang-orang yang memiliki pengalaman lebih banyak dan pengetahuan yang lebih luas.
Militansi inilah yang akan menjadikan gerak organisasi menjadi efektif dan progresif namun efisien. Efektif itu berhubungan dengan tingkat kualitas kinerja pimpinan dalam melaksanakan tugas organisasi. Jika dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama ternyata mampu melaksanakan berbagai aktivitas yang banyak, itulah yang disebut dengan progresif. Adapun efisien yaitu hematnya biaya yang dikeluarkan, dalam hal ini kecilnya pembiayaan yang dikeluarkan untuk memberdayakan Sumber Daya Manusia berkualitas. Efisiensi inilah yang akan dapat menjadikan organisasi berjalan mandiri tanpa harus mendapatkan sponsor dan atau donatur dalam jumlah yang besar.
Dari pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa kebutuhan kader itu merupakan hal pokok yang harus dipenuhi oleh seluruh organisasi dan cara peningkatannya bisa dengan pemberian perhatian yang lebih terhadap proses pengkaderan. Semakin serius dalam meningkatkan kualitas dan kapasitas kader tentunya akan memudahkan laju organisasi atau dengan kata lain gerak organisasi menjadi lebih efektif dan efisien untuk mencapai tujuannya. Jadi, gerak IPM untuk mewujudkan pelajar muslim yang berakhlak mulia, berilmu, dan terampil dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dapat segera terwujud. Hal inilah yang nantinya bisa menjawab masa depan remaja di kota Yogyakarta secara praktis yang sedang bergelut dengan pergaulan bebas, free sex, penggunaan napza, dan kriminalitas yang didukung oleh kecanggihan teknologi dan komunikasi.
Referensi:
PP IPM. 2008. Tanfidz Muktamar XVI IRM. Yogyakarta: PP IPM.
Siswoyo, Dwi. 1997. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY press.
Sugihartono dkk. 1997. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar